SOEKARNO
Soekarno
( Bung Karno ) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966,
menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’.
Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah
mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with
your aid.” Persetan dengan bantuanmu. Ia mengajak negara-nega-ra
sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini
juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta
menjaga keutuhan NKRI.
Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan
yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa
rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan
yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya
bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida
Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in
Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang
dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu
negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya
meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya,
apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara
miskin).
Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini
tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun
dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan
yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si
miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si
miskin yang membuatnya makin terbelakang.
Itulah Bung Karno yang
berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas
kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa
rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki
sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil
memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas
utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan
ketidakberdayaan (noekolonialisme).
Masa kecil Bung Karno sudah
diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang
tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos
di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri
Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat
belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya.
Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke
THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang
menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.
Kemudian,
ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional
lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya,
Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung
pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam
pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia
menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.
Pembelaannya
itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun
dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo
dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan
dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke
Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung
Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus
1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian
menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya
mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di
Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan
G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau
membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang
kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau.
Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada
Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto
menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para
politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan
Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden.
Kemudian Bung Karno
‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk.
Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia
disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa
Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia
Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati
mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan
Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan
dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto
mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.
Orator Ulung Presiden
pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat
berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional,
neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan
massa, kekuatan rakyat.
“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa
rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku
penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api
Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.
Gejala
berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum
banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam
gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam
autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak
terjangnya.
Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan
ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah
dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan
dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh
dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri
Soekarno sebagai Soekarno.
Dari buku setebal kira-kira 630
halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan
judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan
mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami
Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.
Di
tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu
membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka
tempat tertutup.
Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa
kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung
Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama
enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut
malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya
Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke
tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil,
ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan
mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk pertama
kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu
lelah.”
Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara
keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan
yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan
pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”
Anti Imperialisme Pada
17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di
depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times
(halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia
menyerang kolonialisme.
“Perjuangan dan pengorbanan yang telah
kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme,
telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi,
perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa
dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada
di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?”
pekik Soekarno ketika itu.
Hebatnya, meskipun pidato itu dengan
keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis
terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika
Serikat (AS).
Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan
sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme.
Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan
anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.
Sangat jelas
dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan
negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang
berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.
Soekarno dan
para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata”
dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan
tak jarang menemui jalan buntu.
Soekarno yang rajin berkata-kata,
antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama
dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak
belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan
besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang
matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai
Pancasila.
Tokoh Kontroversial Sebagai sosok yang memiliki
prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial.
Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara
terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata
lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi
kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya
sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.
Akan tetapi, di
mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah
Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin
besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan,
Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji
oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy
syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak
lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan
oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Tatkala memuncak
ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina
ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk
kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci
Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik
yang mayoritas Muslim itu.
Memang, pembelaan Bung Karno terhadap
kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain.
Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah
menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai
pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap
dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.
Sebenarnya,
seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi
Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin
merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau
si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di
Indonesia secara benar?
Dalam hal ini elok dikutip pendapat
Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah
gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno
pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata
pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya
ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya,
ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in
Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan
keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi
penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian
untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para
agamawan formalis sebagai bidah”.
Sistem Politik Soekarno
memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang
paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia
yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan.
Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari
liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini
terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.
Lalu ia
mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan
politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan
anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya,
penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik
yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan
sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme
politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.
Pada tahun
1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang
disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat
liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai
parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi,
Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga
kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah
dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari
sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya
kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga
mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai
gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.
Kenyataan
ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia
menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan
daerah. Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD
1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk
Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan
nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.
sumber : http://www.tokohindonesia.com
JENDRAL SUDIRMAN
Jenderal Sudirman merupakan salah satu
tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh
suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang
jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap
bergerilya melawan Belanda. Ia berlatarbelakang seorang guru HIS
Muhammadiyah di Cilacap dan giat di kepanduan Hizbul Wathan.
Jenderal
Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang
lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih
31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit
paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatarbelakang seorang guru HIS Muhammadiyah di Cilacap dan giat di
kepanduan Hizbul Wathan.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk
tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan,
langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima
Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan
Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya
sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia
tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda
Republik ini.
Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin
teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu
mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas
kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela
kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika
Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit
tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam
keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia
disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh
revolusi negeri ini.
Sudirman yang dilahirkan di Bodas
Karangjati, Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh pendidikan
formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa
nasional yang tinggi. Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru)
Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal
disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian
menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa
pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal pribadinya hingga bisa
menjadi pemimpin tertinggi Angkatan Perang.
Sementara pendidikan
militer diawalinya dengan mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air
(Peta) di Bogor. Setelah selesai pendidikan, ia diangkat menjadi
Komandan Batalyon di Kroya. Ketika itu, pria yang memiliki sikap tegas
ini sering memprotes tindakan tentara Jepang yang berbuat
sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Karena sikap
tegasnya itu, suatu kali dirinya hampir saja dibunuh oleh tentara
Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu pertempuran dengan
pasukan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Itulah jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan Indonesia.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat
menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui
Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia terpilih menjadi Panglima
Besar TKR/Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya pada
tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal diberikan padanya lewat
pelantikan Presiden. Jadi ia memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui
Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana lazimnya,
tapi karena prestasinya.
Ketika pasukan sekutu datang ke
Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara
Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran
dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang
dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah
serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang
berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris
mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali
melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II
Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta
sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di
Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya
yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II
Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung
Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan.
Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah
menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan
perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan
hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan
tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Maka dengan ditandu,
ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang
lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke
hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah
sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada
pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri
tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan
gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung,
tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Sudirman yang pada masa
pendudukan Jepang menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Banyumas, ini pernah
mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Jenderal yang mempunyai jiwa sosial yang tinggi, ini akhirnya harus
meninggal pada usia yang masih relatif muda, 34 tahun.
Pada
tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar ini meninggal dunia di Magelang
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan
sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Sumber : - Tokoh Indonesia.com - id.wikipedia.org - Berbagi Ilmu
Info penting dalam artikel: - Sebelum menjadi jenderal, Sudirman adalah seorang guru. -
Jenderal Sudirman menjadi Jenderal pada usia 31 tahun dan meninggal
pada usia 34 tahun demi mempertahankan Indonesia, tanpa memikirkan
kesehatannya sendiri. - Sudirman meninggal bukan karena Belanda, tapi karena penyakit paru-parunya yang parah. - Sudirman meninggal di Magelang pada 29 Januari 1950.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar